1
1

Sejak 17 Agustus 1945 telah 65 kali bangsa kita merayakan kemerdekaan. Jepang itu telah tidak ada lagi. Demikian juga dengan para kompeni yang selama ratusan tahun eksis di negeri ini. Bendera merah putih bebas berkibar. Setiap warga negara bebas ikut Pilkada. Apakah hanya sekedar itu makna suatu kemerdekaan?
Makna suatu kemerdekaan pastilah berbeda bagi setiap orang. Bagi pedagang telok abang, makna suatu kemerdekaan ketika ia dengan bebas berdagang "dimana saja" untuk menjual telok abang dengan berbagai produk ikutannya. Ada kapal-kapalan, miniatur perahu jukung. Baginya kemerdekaan adalah bebas berdagang. Apalagi jika kebebasan itu tidak disertai pungutan uang jasa oleh preman atau pungutan liar oleh aparat pemerintah.
Kemerdekaan bagi seorang narapidana adalah keluar dari jeruji, bebas berkeliaran kemana saja tanpa ada pembatasan. Sudah pasti dengan status narapidana, kemerdekaan serupa itu tidak ada lagi padanya. Bagaikan burung dalam sangkar. Tidak bisa berbuat apa-apa. Terbatas dalam pembatas yang mengelilinginya. Sang narapidana baru menyadari betapa berharga suatu kemerdekaan yang selama ini dimiliki. Mungkin terbayang perbuatan yang lalu yang menjadikannya berstatus narapidana. Jika dituduh sebagai seorang koruptor, mulai dia mengingat-ingat apa yang salah dengan kelakuannya itu. Jika jelas-jelas korupsi dapat dimaklumi, tapi tidak sedikit dari mereka menyandang gelar koruptor akibat suatu "kecelakaan semata." Akibat salah kebijakan, administrasi yang sulit mereka fahami.
Bagi seorang pejuang kemerdekaan, makna suatu kemerdekaan pastilah mengalami perubahan. Jika pertama-tama makna kemerdekaan itu diartikan lepas dari cengkeraman Belanda dan Jepang maka kini setelah puluhan tahun tahun Indonesia merdeka, pastilah kualitas kemerdekaan itu harus berubah. Bukan hanya sekedar itu. Para pejuang memaknai kemerdekaan sebagai suatu keadaan dimana bangsa Indonesia telah berhasil mengisi kemerdekaan. Bangsa Indonesia telah menjelma menjadi bangsa yang handal "sejajar" dengan bangsa-bangsa penjajah itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengartikan kata kemerdekaan sebagai tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Cukup luas maknanya. Tetapi paling tidak diartikan bangsa Indonesia tidak terikat lagi dengan Jepang dan Belanda. Dua negara yang pernah "semena-mena" dengan Indonesia. Kedua negara ini tidak lagi menentukan warna dan segala tindak tanduk bangsa Indonesia.
Bagi rakyat Indonesia kebanyakan, makna suatu kemerdekaan sederhana saja. Mereka tidak begitu faham soal protokoler negara. Tidak juga peduli dengan teori-teori tentang kemerdekaan. Mereka menuntut hal-hal yang sederhana saja sebagai bukti negara ini telah benar-benar merdeka dan berhasil mengisi kemerdekaan itu. Rakyat kecil itu memaknai kemerdekaan negara dengan kemampuan negara menyediakan kebutuhan dasar. Itu saja.
Bagi rakyat kebanyakan kemampuan negara menyediakan kebutuhan dasar mereka, itu sudah berarti negeri ini merdeka. Disaat mereka membutuhkan penerangan, negara sanggup menyediakan listrik yang murah dan mudah. Kenyataannya, listrik itu bukan hanya mahal tetapi juga tidak mudah didapat. Hanya dikota Palembang saja terdapat sekitar 6.000 orang antri untuk memasang listrik. Macam-macam saja alasan PLN dengan kondisi itu.
Kemerdekaan juga dikaitkan dengan kemampuan negara memberikan rasa aman kepada mereka. Dulu, rasa takut luar biasa diberikan oleh Belanda dan Jepang. Tapi apakah sekarang ini bangsa Indonesia bebas dari rasa takut dalam berbagai bentuknya? Amankah kita berkendaraan di jalan raya? Amankah anak-anak kita berjalan kaki ke sekolah? Amankah kita naik ojek, naik bis, belanja ke pasar tradisional, menarik uang di Anjungan Tunai Mandiri, menggunakan tabung gas? Amankah negara kita dari para koruptor yang kesehariannya tampil ramah dengan baju seragamnya baik di lembaga legislatif, eksekuitif, yudikatif bahkan di sektor-sektor swasta? Ternyata setelah 65 tahun merdeka, kita masih ragu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tegas.
Teliti saja hanya di bulan Juli-Agustus 2010, sudah berapa rakyat kita yang bunuh diri karena alasan himpitan ekonomi? Pastilah pemerintah mempunyai argumentasi bahwa bunuh diri itu bukan karena alasan ekonomi. Tetapi faktanya memang karena alasan himpitan ekonomi. Bagi sebagian keluarga, hidup ini semakin sulit. Upah tidak begitu tinggi, tidak pararel dengan kenaikan kebutuhan hidup mereka. Seorang buruh bangunan hanya mengandalkan upah Rp 60.000,- per hari. Konon itu sudah bagus, bagaimana dengan kuli di pasar, tukang ojek, tukang beca, dan lain-lainnya dihadapkan dengan harga yang terus melambung tinggi. Belum lagi kebutuhan berobat dan kebutuhan biaya sekolah anak-anak mereka. Upah itu baru ada jika mereka bekerja. Jika mereka sehat. Pastilah kemerdekaan dengan suasana seperti itu kurang bermakna bagi mereka.
Bagi saya kemerdekaan itu antara lain berarti negara ini berhasil menyediakan kebutuhan dasar (basic needs) bagi setiap warga negara. Para pemimpin yang benar-benar "siang-malam" mencari jalan agar tercapai kesejahteraan warganya. Para wakil rakyat benar-benar memikirkan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan yang aneh-aneh. Bagaimana tidak aneh jika dibulan suci ramadhan seorang wakil rakyat dari partai berbasis agama ditangkap aparat kepolisian karena sedang siap-siap pesta shabu menjelang berbuka puasa. Merdeka tidak berarti bangsa kita tersesat oleh budaya bangsa lain termasuk mengkonsumsi obat-obat terlarang. Faktanya, hampir tidak ada wilayah provinsi di Indonesia yang bebas dari pengaruh obat-obat terlarang itu. Jangan-jangan itulah penjajah baru bangsa kita. Merdeka memang berarti kita bebas melakukan "berbagai hal." Tetapi janganlah kita tersesat oleh kata merdeka. Pegangan kita tetap pada cita-cita para pendiri bangsa ini bahwa makna kemerdekaan adalah kesejahteraan (welfare) bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata kunci yang mestinya terpatri dalam jiwa para pemimpin kita.

Prof. Amzulian Rifai,Ph.D
Dekan Fakultas Hukum UNSRI

  1. Pesan Gw : Komentar Anda Sangat Berarti Untuk Perkembangan BLOG ini...

0 komentar:



Posting Komentar