1
1

William Henry Fox TalbotWilliam Henry Fox Talbot (Dorset, 11 Februari 1800 - 17 September 1877) adalah seorang ilmuwan dan politikus Britania Raya yang terutama dikenal atas karyanya dalam bidang fotografi.

Sejak kecil ia amat cemerlang dan tertarik dalam ilmu pengetahuan, dan ketika sekolah di Harrow ia membuat letusan dan menyebarkan bau busuk dari percobaan kimianya. Kepala sekolah melarangnya melakukan lagi eksperimen di sekolah, maka Talbot menjumpai seorang pandai besi yang ramah yang menurut kepala sekolah "mempersilakannya meledakkan apa saja semaunya."

Pada bulan Oktober 1833, sementara menggambar sketsa di dekat Bellagio, Danau Como, dengan kamera lucida, instrumen optik yang sering digunakan pemula untuk menggambar, tercetus dalam pikirannya, betapa bagusnya bila gambar itu dapat direkam di atas kertas.

Enam tahun kemudian, ia menciptakan proses fotografi yang menghasilkan negatif lebih dahulu dan baru kemudian mencetaknya menjadi gambar, yang sampai sekarang menjadi dasar pembuatan foto.

Talbot lalu mencoba mencari jalan membuat banyak kopi secara cepat. Pada tahun 1851, ia menemukan ide memecah gambar menjadi titik-titik kecil sehingga foto dapat diproduksi lewat sebuah mesin pencetak.

Talbot adalah tuan tanah di desa Lacock, tempat keluarganya tinggal selama 400 tahun sehingga ia amat peduli pada kondisi kerja rakyat setempat yang jelek sehingga ia menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal untuk daerah Chippenham. Ia juga seorang ahli botani yang tekun, memiliki sendiri peralatan untuk eksperimen listrik, dan paham banyak bahasa. Ia merupakan satu dari sedikitnya orang Inggris yang dapat membaca huruf paku Babilonia.

Selanjutnya...

Louis Jacques Mande Daguerre orang yang di tahun 1830-an berhasil menemukan kamera fotografi praktis. Daguerre dilahirkan tahun 1787 di kota Cormeilles di Perancis Utara. Waktu mudanya dia seniman. Pada umur pertengahan tiga puluhan dia merancang "diograma", barisan lukisan pemandangan yang mempesona bagusnya, dipertunjukkan dengan bantuan efek cahaya. Sementara dia menggarap pekerjaan itu, dia menjadi tertarik dengan pengembangan suatu mekanisme untuk secara otomatis melukiskan kembali pemandangan yang ada di dunia tanpa menggunakan kwas atau cat. Dengan kata lain "kamera" yang di tingkat pertama perancangan alat kamera yang bisa berfungsi tidak berhasil.

Di tahun 1827 dia ketemu Joseph Nicephore Niepce yang juga sedang mencoba (dan sejauh itu lebih sukses) menciptakan kamera. Dua tahun kemudian mereka menjadi kongsi. Di tahun 1833 Niepce meninggal, tetapi Daguerre tetap tekun meneruskan percobaannya. Menjelang tahun 1837 dia sudah berhasil mengembangkan sebuah sistem praktis fotografi yang disebutnya "daguerreotype." Tahun 1839 Daguerre memberitahu publik secara terbuka tanpa mempatenkannya. Sebagai imbalan, pemerintah Perancis menghadiahkan pensiun seumur hidup kepada baik Daguerre maupun anak Niepce. Pengumuman penemuan Daguerre menimbulkan kegemparan penduduk. Daguerre merupakan seorang pahlawan saat itu, ditaburi rupa-rupa penghormatan, sementara metode "daguerreotype" dengan cepat berkembang menjadi hal yang digunakan oleh umum.

Tak banyak penemuan teknologi yang begitu banyak digunakan awam seperti halnya fotografi. Dia digunakan di hampir tiap bidang penyelidikan ilmu. Begitu juga di bidang industri dan militer. Sarana yang vital di kalangan rakyat biasa, hobbi menyenangkan buat berjuta orang. Fotografi ambil bagian dalam penyebaran penerangan (atau penipuan untuk mengelabui orang lewat informasi palsu), di bidang pendidikan, jurnalistik dan iklan. Berhubung fotografi mampu dengan cepat mengingatkan orang akan masa lampaunya, dia menjadi sarana suvenir dan kenang-kenangan yang tersebar luas. Sinematografi, tentu saja, merupakan perkembangan berikutnya yang punya arti penting-selain melayani dan merupakan sarana hiburan yang tak bisa diabaikan-juga saina banyak digunakan setara dengan foto "diam."

Tak ada penemuan ilmiah yang dilakukan oleh seseorang sendirian tanpa ada petunjuk dari orang-orang sebelumnya seperti Daguerre. "Kamera obscura" (alat serupa dengan kamera tetapi tanpa film) telah diketemukan orang delapan abad sebelum Daguerre. Di abad ke-16, Girolamo Cardano membuat langkah menempatkan lensa di muka "kamera obscura" terbuka. Ini merupakan langkah penting menuju lahirnya kamera modern. Tetapi karena bayangan yang dihasilkan tidak tahan lama samasekali, sulitlah dianggap sebuah fotografi. Penemuan pemula lainnya diketemukan tahun 1727 oleh Johann Schulze yang menemukan bahwa garam perak sangat sensitif terhadap cahaya. Meskipun dia gunakan penemuan ini untuk membuat gambar sementara, Schulze tak punya gambaran bagaimana cara semestinya meneruskan gagasannya.

Pendahulu yang dekat dengan apa-apa yang berhasil diperbuat Daguerre adalah Niepce yang kemudian menjadi partner Daguerre. Sekitar tahun 1829 Niepce menemukan bahwa batuan tebal hitam dari Judea, sejenis aspal, sangat peka terhadap cahaya. Dengan menggabungkan benda peka cahaya dengan "kamera obscura," Niepce berhasil membuat foto pertama di dunia (salah satu yang dijepretnya tahun 1826 masih ada hingga sekarang). Atas dasar itu, beberapa orang menganggap Niepce-lah yang layak dianggap sebagai penemu fotografi. Tetapi sistem fotografi Niepce sepenuhnya tidak praktis karena memerlukan tidak kurang dari delapan jam untuk pengambilannya dan itu pun cuma menghasilkan gambar yang buram.

Kamera resmi Daguerre yang diprodusir iparnya, Alphonse Girous, dibubuhi cap yang berbunyi : "Tanpa tanda tangan M. Daguerre dan tanda M. Giroux, tidak terjamin."karena itu punya arti praktis yang berlebih. Pada metode Daguerre, gambar direkam di atas lembar yang berlapis "iodide perak". Waktu pengambilan yang dibutuhkan antara 15-20 menit sudah cukup memadai walau berabe bawanya karena berat, toh berguna. Dua tahun sesudah Daguerre mempertunjukkan ciptaannya di depan umum, orang-orang usul penyempurnaan: penambahan "cairan perak" pada "iodide perak" yang peka cahaya. Perubahan kecil ini punya pengaruh banyak mengurangi waktu yang diperlukan buat pemotretan, karena itu punya arti praktis yang berlebih.

Tahun 1839, sesudah Daguerre mengumumkan secara terbuka hasil penemuan fotografinya, William Henry Talbot, seorang ilmuwan Inggris, memberitahukan pula bahwa dia telah mengembangkan metode fotografi lain, lewat cara pencetakan negatif, seperti dilakukan orang sekarang ini. Menarik untuk dicatat, Talbot sesungguhnya sudah memprodusir alat potret di tahun 1835, dua tahun sebelum keluarnya model Daguerre. Talbot, yang juga melibatkan diri dalam pelbagai proyek, tidak lekas-lekas meneruskan eksperimen fotografinya. Kalau saja hal ini dilakukannya, mungkin sekali dia bisa memprodusir alat potret yang komersil sebelum Daguerre melakukannya, dan bisa dianggap sebagai penemu fotografi.

Tahun-tahun sesudah Daguerre dan Talbot, beruntun dilakukan orang pelbagai penyempurnaan: proses lembaran basah, proses lembaran kering, rol film modern, film berwarna, film bioskop, polaroid dan xerografi. Kendati banyak orang yang terlibat dalam pengembangan fotografi, Louis Daguerre-lah orang yang paling banyak beri sumbangan pikiran. Tak ada sistem yang patut dipakai sebelum Daguerre dan sistem yang dikembangkannya paling praktis dan paling diterima secara luas. Lebih dari itu, penyiaran yang luas dari hasil penemuannya merupakan daya dorong buat penyempurnaan selanjutnya. Meski fotografi yang kita kenal sekarang jauh berbeda dengan sistem Daguerre, tetapi apa yang dibuat Daguerre sudah dapat dimanfaatkan. Daguerre meninggal tahun 1851 di kota asalnya dekat Paris.

Selanjutnya...

Edwin Land adalah seorang penemu yang cukup ternama sampai tahun 1947, karena telah menemukan filter kamera yang terpolarisasi (teknik yang sama seperti di kacamata hitam), dan pendiri Polaroid Corporation. Tapi pada tahun itu, anak perempuannya yang masih kecil belum puas dengan pencapaian ayahnya. Kamera2 mengecewakan menurut dia. Kenapa harus menunggu lama untuk lihat hasil foto dia? Kenapa ngga bisa dilihat sekarang juga?
Edwin menggunakan keluhan anak perempuannya sebagai motivasi bagi dia, dan bekerja untuk mencari jawaban atas kekecewaan anak perempuannya - membuat material yang sensitif terhadap cahaya yang berfungsi sebagai film & juga foto. Model film instannya yang pertama, "Land Model 95" muncul tahun 1948, menggunakan film yang perlu di"kupas" seperti sticker yang akhirnya diganti menggunakan format kering seperti yang digunakan dewasa ini pada tahun 1972.
Film ini melewati proses basah kamar gelap, dan memberikan hasil hampir instan & menghasilkan kepuasan pada generasi muda yang tidak sabaran.

Kalau dulu bapakku buatin raket dari triplek untuk main ping pong

Selanjutnya...

Fotografi telah menunjukkan sebagai sebuah bidang yang sangat memungkinkan terjadinya percampuran dengan media-media lain di luarnya. Sebuah karya fotografi tidak lagi murni hasil-kerja kamera, tapi adalah hasil kolaborasi antara kamera, unsur kimia, teknologi komputer, dan sebagainya. Pada dasarnya prinsip-prinsip utama yang diterapkan dalam bermacam-macam jenis fotografi tetap sama.  Karya-karya fotografi yang ada disini belum bergeser dari prinsip-prinsip dasar itu.
Namun yang sedikit berubah adalah: eksplorasi pada apa yang diabadikan dalam foto. Dulu, yang diabadikan oleh mata kamera adalah semata-semata realitas fisik yang ada disekitar. Sedangkan sekarang adalah konsep, ide, dan gagasan yang tidak mempunyai terjemahan wujud fisiknya dalam kehidupan nyata. Sehingga kadang-kadang, ia harus diciptakan.
Logika penciptaan karya fotografi yang terdahulu bisa disebut sebagai logika penciptaan yang fungsional. Menurut logika ini, sebuah foto adalah penanda dari kenyataan yang ada di luarnya. Sesuatu bergerak dari wujud kongkret ke wujud kongkret. Sedangkan pada perkembangan yang terkini, logika penciptaannya bergerak dari sesuatu yang abstrak ke sesuatu yang kongkret.
Dalam perkembangannya, fotografi memiliki berbagai disiplin ilmu sesuai dengan tuntutan zaman antara lain : Fotografi komersial/advertising, Fotografi fashion, Fotografi arsitektur dan interior, Fotografi corporate dan industrial, Fotografi jurnalistik, Fotografi alam dan satwa, Fotografi fine art, Audio visual dan multi media.
(Berbagai Sumber/SHR/Bagus/rev)

Selanjutnya...

FOTOGRAFI kini berkembang dan mempengaruhi hampir segala aspek kehidupan manusia. Pengaruhnya paling banyak terasa pada perkembangan media massa. Jika pada awal munculnya media massa hanya berisikan tulisan-tulisan, sekarang hampir seluruh media massa khususnya cetak dihiasi oleh foto. Berita tak hanya dapat tersampaikan dari sebuah tulisan, fotopun dapat menyampaikan sebuah berita.
Tak hanya penerapannya, teknologi fotografi juga berkembang pesat. Dalam Bab ini akan dibahas lebih lanjut perkembangan teknologi fotografi dari awal konsep fotografi itu sendiri ditemukan.
Jika melihat peristiwanya, fotografi sendiri sudah ditemukan pada sekitar tahun 1000 M. Dikatakan Al Hazen-lah yang pertama kali menemukan konsep dari fotografi. Pelajar berkebangsaan arab ini menulis bahwa citra dapat dibentuk dari sebuah cahaya yang melewati sebuah lubang kecil. Pada sekitar 400 tahun kemudian, Leonardo Da Vinci menulis fenomena yang sama. Berdasarkan penemuan Da Vinci, Battista Delta Porta mempublikasikan sebuah buku yang membahas tentang Camera Obscura. Istilah ini diambil dari bahasa latin yaitu camera yang berarti kamar dan obscura yang artinya gelap. Melalui karyanya itu ia dianggap sebagai penemu prinsip kerja kamera.
Pada awal abad ke-17 muncul sebuah penemuan menarik. Jika pada awal penemuannya lebih pada konsep fotografi yaitu proyeksi sebuah image atau citra, pada awal abad ke-17 ini ditemukan cara untuk merekam citra tersebut. Angelo Sala, seorang ilmuwan Italia, menemukan bahwa jika serbuk perak nitrat terkena cahaya maka warnanya akan berubah menjadi hitam. Namun masalah yang dihadapi Angelo adalah meskipun dapat merekam gambar dengan menggunakan serbuk itu, gambar yang terekam tidak bertahan lama. Dan beberapa tahun berikutnya Johann Heinrich Schuize dan Thomas Hedgwood juga melakukan percobaan yang sama namun dengan hasil yang kurang memuaskan pula. Bahkan percobaan yang dilakukan oleh Schuize sendiri tidak berhubungan dengan bidang fotografi karena ia merupakan Profesor farmasi dari sebuah universitas di Jerman.
Dan kemudian pada sekitar tahun 1824, Joseph Nieephore Niepee menemukan sesuatu yang kemudian menjadi awal ditemukannya teknologi fotografi modern. Melalui proses heliogravure, Joseph berhasil membuat gambar yang bisa disebut foto. Heliogravure adalah sebuah proses yang mirip dengan lithograf yang menggunakan bahan sejenis aspal sebagai bahan dasarnya. Dan pada tahun 1829, Joseph bekerja sama dengan Louis Jacques Mande Daguerre yang merupakan seorang pelukis. Namun itu tidak bertahan lama karena Joseph meninggal pada tahun 1833. Sebenarnya sebelum bekerja sama dengan Daguerre, Joseph sendiri telah menghasilkan foto pertama yang berjudul View From Window at Gras yang disimpan di University of Texas di Austin, USA.
Namun teknologi yang dikembangan oleh Joseph sendiri belum bisa diterima oleh masyarakat umum karena pelat yang digunakan harus disinari selama beberapa jam. Sepeninggalan Joseph, Daguerre bekerja sendiri selama enam tahun dan berhasil mempublikasikan temuannya ke seluruh dunia. Dengan bantuan seorang ilmuwan Daguerre berhasil menemukan teknologi yang dapat menghasilkan foto-foto permanen yang disebut Daguerretype yang tidak dapat diperbanyak. Teknologi ini sekarang lebih dikenal sebagai teknik cetak positif.
Dan pada 25 januari 1839, hanya beberapa hari setelah Daguerre menemukan teknik cetak positif, William Henry Fox Talbot menemukan teknologi yang sekarang dikenal sebagai contactprint. Teknologi ini memungkinkan sebuah foto untuk diperbanyak. Pada satu tahun kemudian, Talbot menemukan teknologi calotype yang sekarang dikenal dengan teknik cetak negatif.
Pada tahun 1850, seorang ahli kimia Inggris yaitu Robert Bingham memperkenalkan teknologi Wet-Plate Photography. Dan kemudian diikuti dengan pengembangan roll film. Dan pada tahun 1888, George Eastman berhasil mengembangkan teknologi kamera yang dapat dibawa kemana-mana dengan leluasa karena bentuknya lebih kecil. Kamera ini diberi nama KODAK yang merupakan sebuah kamera box kecil dan ringan pertama yang berisikan roll film.
Pada masa Daguerre dan Talbot timbul polemik tentang siapa yang sebenarnya yang lebih dulu menemukan teknologi peletakan plat/kertas pada camera obscura. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ternyata ada perbedaan signifikan yang terletak pada penemuan keduanya. Daguerre yang hasil penelitiannya disebut Daguerretype lebih mirip pada teknik cetak positif sekarang. Sedangkan penelitian Calotype milik Talbot, lebih pada teknik cetak negative.
Perkembangan teknologi fotografi kemudian merambah ke bidang kesehatan. Pada tahun 1901, Conrad Rontgen berhasil mengembangkan teknologi fotografi sinar X untuk pemotretan tembus pandang. Karena kontribusinya dibidang kesehatan, Rontgen kemudian mendapatkan hadiah nobel bidang kesehatan. Dan peralatan pemotretan itu kemudian dinamai dengan nama belakangnya.
Pengembangan pemanfaatan cahaya buatan untuk kegiatan fotografi seperti yang dikembangkan oleh Rotgen, juga dilakukan oleh Dr. Harold Edgerton. Dibantu oleh Gjon Mili, Ia menemukan lampu yang bisa menyala mati dalam hitungan sepersekian detik. Teknologi ini sekarang dikenal dengan sebutan lampu flash (blits).
Pemanfaatan teknologi inframerah dalam fotografi juga banyak membantu dalam penelitian. Kabut yang semula tidak dapat ditembus cahaya, kini dapat ditembus dengan menggunakan teknologi inframerah. Sehingga pemotretan didaerah yang banyak diselimuti kabut menggunakan teknologi ini.
Dikatakan bahwa perkembangan fotografi semakin pesat, seiring masuknya fotografi dalam dunia jurnalistik cetak. Pada mulanya sebuah foto hanya dapat disalin melalui lukisan tangan. Surat kabar pertama yang memuat gambar adalah The Daily Graphic pada 16 April 1877. Gambar yang dimuat adalah gambar sebuah peristiwa kebakaran.
Dan kemudian foto pengeboran minyak Shantytown karya Henry J. Newton adalah foto pertama yang dimuat oleh media cetak. Foto ini dimuat di surat kabar New York Daily Graphic di Amerika pada 4 Maret 1880.
Era digital bisa dikatakan dimulai pada tahun 1990 pada saat Kodak meluncurkan kamera digital pertama yaitu DSC 100. Sejak itulah kamera digital mulai dikembangkan oleh banyak produsen kamera. Sebenarnya teknologi rekam tanpa film sendiri sudah dimulai oleh perusahaan elektronik Sony pada tahun1981 melalui produknya Sony Mavica. Akan tetapi kamera tersebut masih menggunakan televisi sebagai alat preview sehingga belum bisa dikatakan sebagai kamera digital.
Pada awal perkembangan teknologi fotografi digital, kamera yang dihasilkan belum layak pakai. Ini karena resolusi pada kamera digital tersebut masih dibawah 1 megapiksel. Sedangkan untuk mencetak foto seukuran majalah dibutuhkan resolusi minimal 2 megapiksel. Dan masalah inipun dipecahkan dengan diproduksinya Fuji-Nikon E-2. Kamera hasil kerjasama produsen Fuji dan Nikon ini memiliki resolusi 1,3 megapiksel.
Namun masalah lain muncul. Kamera ini memiliki kekurangan di kapasitas media penyimpanan yang sangat terbatas. Tetapi sekarang masalah ini sudah teratasi. Perkembangan media penyimpanan dan resolusi kamera semakin pesat. Media penyimpanan makin tak terbatas dan resolusi kamera pun semakin besar, dan kemudian membuat perkembangan teknologi kamera digital semakin tak terbatas.
Sebagian besar pengguna kamera telah meninggalkan teknologi film dan beralih ke digital. Ini karena penggunaan kamera digital lebih mudah, murah, instan dan tidak menghabiskan banyak space penyimpanan. Akan tetapi, sebagian juga masih setia dengan teknologi film karena masih senang dengan warna foto yang dihasilkan.
Lantas kapan sebenarnya muncul istilah fotografi? Ternyata istilah itu muncul jauh setelah teknologinya ditemukan yaitu pada tahun 1839. Ini adalah tahun dimana terjadinya polemik antara temuan Daguerre dan Talbot. Seorang ilmuwan Inggris, Sir John Herchell adalah yang mengemukakan istilah ini. Fotografi berasal dari bahasa yunani yaitu photos yang berarti cahaya dan graphos yang berarti menulis/melukis.
Sumber-sumber
Artikel “Sejarah Fotografi”, firama.8m.com
Artikel “Sejarah Fotografi, Sejarah Teknologi ” oleh Arbain Rambey (Jum’at, 20 Juni 2003), Kompas Cyber Media
Artikel “Story About Digital Kamera” (Rabu, 21 Maret 2007), http://solihin-photo.blogspot.com
Buku “Foto Jurnalistik” (Cetakan ketiga Agustus 2006), Audy Mirza Alwi.

Selanjutnya...

Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 di Indonesia telah membawa dampak yang besar bagi segala aspek di masyarakat. Masyarakat yang terkekang dalam kurun waktu hampir 30 tahun dibawah rezim Orde Baru mulai bebas ruang geraknya. Hal ini sangat terasa di bidang politik. Para penguasa tidak bisa seenaknya memanfaatkan kekuasaannya, karena sekarang masyarakat punya “kekuasaan” untuk menjatuhkan pemerintahan jika kebijakan dirasa merugikan. Dalam bidang fotografipun, terjadi perubahan yang cukup signifikan.
Perkembangan fotografi di Indonesia terasa sangat nyata karena media, yang menjadi naungan karya-karya fotografi, juga terlepas dari kungkungan pemerintah. Selama jaman kekuasan Orde Baru, karya-karya fotografi hanya sebatas untuk kepentingan komersial saja. Sekarang, para juru foto dapat mempertontonkan karya idealis mereka lewat pameran-pameran.
Melalui pameran ini, para juru foto bebas menunjukkan idealisme mereka. Mereka yang selama ini terkungkung dengan sistem yang dikuasai oleh pemerintahan dictator, kini memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk berkespresi. Foto jurnalistik Indonesia pun akhirnya menemukan jati diri sebenarnya sebagai foto yang mengungkapkan fakta.
Perkembangan fotografi Indonesia memang tidak mencakup bidang teknologi yang kemudian menimbulkan perubahan signifikan dalam bidang fotografi dunia. Di Indonesia fotografi lebih pada bagaimana penerapannya. Atau bisa dibilang fotografi di Indonesia lebih bersifat konsumtif.
Sejarah fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, pada saat 2 orang juru foto Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie, Batavia. Masuknya fotografi ke Indonesia tepat 18 tahun setelah Daguerre mengumumkan hasil penelitiannya yang kemudian disebut-sebut sebagai awal perkembangan fotografi komersil. Studio fotopun semakin ramai di Batavia. Dan kemudian banyak fotografer professional maupun amatir mendokumentasikan hiruk pikuk dan keragaman etnis di Batavia.
Masuknya fotografi di Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya teknologi fotografi, maka kamera yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi yang sederhana. Teknologi kamera pada masa itu hanya mampun merekam gambar yang statis. Karena itu kebanyakan foto kota hasil karya Woodbury dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam gambar yang bergerak.
Terkadang fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio untuk dapat merekam suasana hirup pikuk pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu telihat bahwa pedagang dan pembelinya beraktifitas membelakangi sebuah layar. Ini karena teknologi kamera masih sederhana dan masih riskan jika terlalu sering dibawa kemana-mana.
Pada tahun 1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa kemana-mana sehingga memungkinkan para fotografer untuk melakukan pemotretan outdoor. Bisa dibilang ini adalah awal munculnya kamera modern.Karena bentuknya yang lebih sederhana, kamera kemudian tidak dimiliki oleh fotografer saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat awam.
Banyak karya-karya fotografer maupun masyarakat awam yang dibuat pada masa awal perkembangan fotografi di Indonesia tersimpan di Museum Sejarah Jakarta. Seperti namanya, museum ini hanya menghadirkan foto-foto kota Jakrata pada jaman penjajahan Belanda saja. Karena memang perkembangan teknologi fotografi belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang dipamerkan adalah suasana Pasar Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an.  Pada awal dibangun, pasar ini hanya diisi oleh beberapa lapak pedagang saja. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana Glodok merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta.
Referensi
Artikel “Tukang Potret: 1857-1950” oleh Alwi Shahab (Minggu, 14 September 2003), Republika Online
Artikel “Karya Dua Bersaudara Mengabdikan Sejarah” (Kamis, 16 Juni 2005), Harian Sinar Harapan Online
Artikel “Kassian Cephas Hanya Membuat Foto-foto Indah” oleh Nuraini Juliastuti, Wikipedia

Selanjutnya...

TEKNIK MEMOTRET
Menurut buku Foto Jurnalistik, teknik memotret adalah suatu cara dalam memotret setelah diketahui bagaimana tahapan memotret.
Mari kita bahas sedikit tentang tahapan memotret sebelum kita membahas tentang teknik memotret. Ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan sebelum kita mulai memotret, yaitu komposisi, fokus, kecepatan dan diafragma. Keempat tahap ini penting diperhatikan pada saat memotret untuk dapat menghasilkan foto yang baik secara teknik.
TAHAPAN DALAM MEMOTRET
Komposisi diatur dengan memilih point of interest dari suatu objek. Point of interest adalah sesuatu yang paling menonjol dalam sebuah objek foto. Komposisi menempati urutan pertama yang harus diperhatikan dalam tahapan memotret. Ini karena pengaturan komposisi foto hanya dapat diatur oleh fotografer sendiri dan tidak bisa digantikan oleh kamera. Ini berbeda dengan fungsi yang lain seperti fokus, kecepatan dan diafragma. Pada kamera otomatis, ketiga hal ini dapat digantikan oleh kamera.
Setelah mengatur komposisi, kita harus mengatur fokus dari objek yang akan kita foto. Point of interest adalah hal utama yang harus difokuskan. Focusing bisa dilakukan dengan memutar ring fokus pada lensa atau mengatur jarak kamera dengan objek foto.
Tahap selanjutnya adalah pengaturan kecepatan. Maksud dari kecepatan ini adalah gerakan tirai yang membuka-menutup sesuai angka yang dipilih tombol kecepatan. Semakin cepat gerakan membuka dan menutup tirai maka semakin sedikit cahaya yang masuk. Sedangkan jika gerakannya semakin lambat maka semakin banyak cahaya yang masuk. Semakin cepat atau lambatnya gerakan tirai ini ditunjukan pada angka-angka yang terdapat pada kamera.
Diafragma sering juga disebut bukaan lensa. Inilah hal terakhir dalam tahapan memotret. Last but not least, karena pengaturan diafragma juga penting agar dapat menghasilkan foto yang baik. Teorinya hampir sama dengan kecepatan yang memakai prinsip bola mata manusia. Semakin kecil bukaan lensa maka semakin sedikit cahaya yang masuk dan begitu pula sebaliknya.
Namun ada sedikit perbedaaan antara diafragma dan kecepatan. Angka yang ditunjukkan pada kamera berbanding terbalik dengan besarnya bukaan. Jadi semakin kecil angka yang ditunjukkan maka semakin besar bukaan lensanya. Sedangkan semakin besar angkanya maka semakin kecil bukaan lensanya.
Selain banyak sedikitnya cahaya, depth of field atau ruang tajam juga dapat diatur melalui diafragma ini. Teori ruang tajam adalah, semakin besar bukaan lensa maka semakin sempit ruang tajam atau objek yang dapat difokus. Sedangkan semakin kecil bukaan lensa maka semakin luas ruang tajam dari objek foto. Contoh penggunaan ruang tajam yang sempir adalah ketika kita ingin membuat foto wajah seseorang. Yang terlihat tajam hanya wajahnya saja, sedangkan backgroundnya tidak tajam.
KEMBALI KE TEKNIK MEMOTRET
Setelah kita mengetahui tentang tahapan memotret maka kita akan melanjutkan pembahasan tentang teknik memotret. sebenarnya ada banyak teknik dalam memotret. namun kita akan memfokuskan pembahasan kita pada teknik-teknik yang paling sering dipakai.
Yang pertama adalah freeze yaitu teknik meemotert pada objek yang bergerak dengan seolah-olah menghentikan objek yang bergerak itu. Teknik ini menggunakan kecepatan yang tinggi sehingga objek seolah-olah membeku. Biasanya teknik ini digunakan untuk memotret kegiatan olah raga seperti sepak bola dan balap motor.
Adapun teknik panning yang, bisa dikatakan, kebalikan dari teknik freeze. Pada teknik ini, sebuah foto dimaksudkan untuk menampilkan efek gerak pada objek yang bergerak. Efek gerak ditampilkan pada bagian background dari foto. Teknik ini dilakukan dengan cara menggerakan kamera sealur dengan arah bergeraknya objek. Untuk melakukan teknik ini, dibutuhkan alat bantu kamera berupa tripod. Selain agar background yang dihasilkan tidak kacau, teknik ini mengharuskan penggunaan low speed yang keduanya mengharuskan kamera tidak banyak goyang.
Teknik selanjutnya adalah zooming yaitu adalah teknik memotret untuk menghasilkan foto dengan efek objek seperti menjauh/mendekat ke kamera. Pada saat tombol shutter ditekan, ring zoom digerakkan menjauh atau mendekat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Seperti halnya teknik panning, kecepatan rendah dibutuhkan dalam menggunakan teknik ini agar kita memiliki cukup waktu untuk memutar ring zoom.
Jika pada teknik panning dan zooming membutuhkan low speed, maka adapun teknik yang memungkinkan kita untuk mengatur kecepatan gerak buka-tutup tirai rana. Teknik ini dinamakan teknik bulb. Biasanya teknik ini digunakan untuk memotret pada kondisi yang minim cahaya seperti pada malam hari. Disaat prioritas speed tidak dapat membantu untuk mendapatkan pencahayaan normal, maka digunakanlah teknik ini.
Teknik lain adalah double/multiple exposure. Teknik ini merupakan teknik yang cukup menarik karena menghasilkan gambar yang unik. Dalam satu frame foto kita dapat menghasilkan foto orang yang sama dengan pose yang berbeda. Untuk menghasilkan foto ini dianjurkan menggunakan tripod agar foto yang dihasilkan tidak goyang. Sebaiknya memilih background gelap atau hitam agar penumpukan objek foto bagus dan tidak kacau.
Makro adalah sebuah teknik fotografi yang memungkinkan kita untuk memotret sebuah objek dari jarang yang sangat dekat. Biasanya pemotretan jarak dekat ini dimaksudkan untuk mendapatkan detail dan tekstur dari sebuah objek. Teknik ini membutuhkan lensa khusus. Akan tetapi jika kita tidak mempunyai lensa khusus makro, kita dapat menyiasatinya dengan menggunakan lensa standar kamera kita secara terbalik. Dan tentu saja itu akan lebih sulit ketimbang menggunakan lensa makro.
Teknik menarik lain adalah siluet. Teknik ini menempatkan sumber cahaya berada tepat dibalik objek. Dengan demikian objeknya akan terlihat gelap. Pengaturan kecepatan dan diafragma tergantung dari cahaya yang ada waktu memotretan berlangsung. Dibutuhkan ketepatan dalam mengatur kecepatan dan diafragma sehingga objek yang direkam memiliki kontur dan ketajaman yang tepat.
Penguasaan tahapan serta teknik memotret merupakan hal yang penting bagi seorang fotografer. Ini tentu saja harus dimulai dengan mengenal kamera yang akan kita gunakan untuk memotret. Karena dengan mengenali kamera yang kita gunakan, kita dapat menggunakan fasilitasnya dengan baik sehingga menghasilkan foto dengan teknik yang sempurna.
PENGKONSEPAN FOTO
Konsep dalam fotografi adalah a general statement of the idea behind a photograph (pernyataan suatu ide dalam sebuah foto). Pernyataan tersebut bisa dilihat dari objek sebuah foto ataupun teknik yang digunakan dalam mengambil foto.
Foto dapat dikatakan bagus jika konsep yang telah disusun oleh fotografer dapat dipahami oleh individu yang melihat foto itu. Ini merujuk pada prinsip komunikasi. Sebuah komunikasi dinyatakan efektif jika pesan dari dari komunikator dapat sampai pada komunikan dan diartikan sama dengan maksud dari komunikator itu sendiri. Ini karena memang kegiatan fotografi sendiri adalah sebuah proses komunikasi.
Maka dari itu pematangan sebuah konsep sangat diperlukan sebelum memotret sebuah objek. Dengan mematangkan ide terlebih dahulu, kita dapat mengetahui objek apa yang akan kita potret dan teknik apa yang kita gunakan sehingga dapat menguatkan pesan pada objek itu. Dan juga kita dapat mengetahui alat-alat bantu fotografi apa yang kita butuhkan untuk memotret.
Banyak foto yang dibuat dengan konsep yang cukup sederhana sehingga orang dapat dengan seketika menangkap pesan dalam foto tersebut. Namun adapaun foto yang membutuhkan pemikiran yang mendalam sebelum kita dapat menangkap pesan yang tersirat pada foto itu.
Dalam foto Komersial dan foto Jurnalistik, pesan yang kita tangkap cenderung cukup mudah. Karena jika tidak begitu maka produk (dalam foto komersial) atau berita (dalam foto jurnalistik) tidak dapat ditangkap oleh penikmat foto. Ini kemudian berpengaruh pada keberhasilan produk atau berita itu dijual.
Sedangkan pada foto Fine Art, pemaknaan foto cenderung membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam. Karena dengan melihat objek atau teknik pemotretannya tidak cukup untuk menginterpretasi foto itu sendiri. Kadang saking sulitnya, para penikmat foto jenis ini membutuhkan bantuan sang fotografer untuk menginterpretasikan foto itu.
Ada beberapa pendapat tentang bagaimana mengkonsep sebuah foto. Ada pendapat bahwa jauh sebelum kita memotret, kita harus menyiapkan sebuah konsep yang matang. Ini memudahkan kita dalam memilih objek foto dan menggunakan teknik apa dalam foto tersebut. Selain itu dengan konsep yang matang, foto yang kita hasilkan bisa memiliki pesan yang cukup kuat.
Namun ada beberapa fotografer yang berpendapat bahwa konsep bisa saja muncul beberapa detik sebelum kita menekan tombol shutter pada kamera. Karena tentu pada saat itu kita berpikir bagaimana membingkai suatu objek. Dan disitulah pengkonsepan foto terjadi.
Jika melihat kedua pendapat ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ada dua macam pengkonsepan. Yang pertama adalah pengkonsepan secara spontan yaitu pengkonsepan yang dilakukan sesaat sebelum tombol shutter ditekan. Yang kedua adalah pengkonsepan yang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Biasanya untuk menghasilkan foto Komersial dan foto Fine Art diperlukan pengkonsepan yang cukup lama. Ide untuk menghasilkan foto-foto jenis ini memang harus digodok secara matang sebelum kemudian dieksekusi.
Foto komersial biasanya objeknya berupa sebuah barang atau jasa yang akan dipasarkan. Penggodokan konsep yang matang sangat diperlukan dalam membuat foto jenis ini.  Karena nantinya foto Komersial adalah media komunikasi produsen yang didalam foto tersebut strategi yang efektif dalam memasarkan sebuah produk.
Sedangkan pada karya foto Fine Art penggodokan konsep sangat diperlukan agar idealisme fotografer dapat tertuang dalam sebuah foto. Karena pemaknaan foto fine art sendiri perlu pemikiran yang mendalam, maka tentu saja awal lahirnya konsep itu sendiri membutuhkan pemikiran yang cukup mendalam pula.
Pengkonsepan dalam foto Jurnalistik, berbeda dengan foto Fine art atau Komersial. Dalam membuat foto jurnalistik tidak memerlukan proses pengkonsepan yang lama. Namun bukan berarti foto ini tidak butuh konsep. Meskipun kesannya spontan, akan tetapi konsep sangat perlu diperlukan untuk menghasilkan foto Jurnalistik agar nantinya dapat menghasilkan “foto yang bercerita”.
Beberapa orang menganggap bahwa konsep dalam memotret tidak wajib dibuat. Mereka menganggap bahwa konsep bisa dibuat atau bisa juga ditinggalkan. Karena menurut mereka dengan membuat konsep terlebih dahulu, dapat mempersempit ruang gerak dan kreatifitas mereka. Sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk berkreasi. Mereka menganggap insting adalah yang paling penting. Karena dengan insting yang tajam, mereka dapat dengan mudah menemukan objek yang menarik untuk dipotret.
Namun apa yang tidak disadari adalah, sebuah konsep muncul dengan sendirinya dalam diri seorang fotografer sesaat setelah ia berniat untuk memotret. Konsep muncul tanpa kita sadari. Disaat kita menentukan kemana kita akan memotret, kamera apa yang akan kita pakai, kapan kita akan pergi dan pertimbangan lain, disaat itulah kita mengkonsep.
Konsep dalam fotografi sendiri adalah ide yang kita tuangkan dalam sebuah foto. Maka tidaklah mungkin kita dapat menghasilkan sebuah karya foto, terlepas itu baik taupun tidak, tanpa sebuah konsep. Karena tanpa konsep maka sebuah karya foto tidak akan dapat tercipta. Betul tidak?
MANA YANG LEBIH PENTING?
Ada banyak hal yang dijadikan perdebatan oleh para pencinta fotografi. Salah satu perdebatan yang menarik adalah yang mana yang lebih penting, penguasaan teknik atau pengkonsepan yang baik dalam menghasilkan sebuah karya foto.
Sedikit ringkasan dari apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, teknik fotografi adalah cara dalam memotret sebuah objek. Adapun teknik-teknik yang sering digunakan yaitu freeze, panning, zooming, bulb, double/multiple exposure, makro dan siluet. Sedangkan konsep fotografi adalah ide yang terkandung dalam sebuah foto. Tanpa konsep kita tidak akan dapat menghasilkan sebuah karya foto, terlepas dari apakah karya foto itu baik atau tidak. Konsep akan muncul dengan sendirinya dalam diri seorang fotografer ketika ia memutuskan untuk memotret.
Etika dan estetika merupakan hal yang wajib diperhatikan dalam menghasilkan sebuah karya. Tak terkecuali juga dalam menghasilkan karya fotografi. Etika terwakilkan pada teknik fotografi. Ketika teknik fotografi sudah dikuasai maka seorang fotografer sudah dapat menghasilkan foto yang baik yaitu foto yang sesuai dengan etika ilmu fotografi itu sendiri. Sedangkan konsep akan melahirkan estetika atau keindahan dari sebuah karya seni. Jika foto tersebut memiliki konsep yang menarik dan dapat tersampaikan pada penikmat foto maka foto tersebut bisa dikatakan sebagai foto yang indah atau memiliki estetika.
Lantas muncul pertanyaan manakah yang lebih penting antara konsep dan teknik, maka jawabannya adalah konsep. Mengapa konsep? Karena dengan konsep, pesan dalam foto yang ingin disampaikan oleh fotografer dapat ditangkap dengan baik oleh orang yang melihat foto itu. Foto tersebut dapat berbicara banyak dan memiliki kandungan pesan yang kuat.
Seperti yang disinggung sebelumnya, bahwa kegiatan fotografi adalah suatu proses komunikasi. Pesan dari komunikator akan tersampaikan dengan baik kepada komunikator manakala komunikator jeli memilih saluran penyampai pesan dan bagaimana pesan itu dikemas. Jika komunikator jeli membaca komunikan maka ia akan muncul dengan strategi komunikasi yang baik sehingga pesan dapat sampai. Seperti inilah pengkonsepan dalam fotografi.
Teknik dari fotografi sendiri sebenarnya masuk dalam pengkonsepan. Dengan mengkonsep kita akan memilih teknik apa yang akan kita gunakan. Pemilihan teknik ini sama dengan memilih strategi yang baik agar maksud komunikator dapat tersampaikan pada komunikan pada proses komunikasi. Dengan memilih teknik yang tepat maka semakin kuat pesan dalam foto yang dihasilkan.
Konsep sangat penting karena dengan pengkonsepan yang baik maka foto tersebut dapat berbicara atau bercerita. Foto yang kurang terkonsep maka akan  datar atau terkesan tidak memiliki pesan meskipun sudah secara teknik sudah baik.
Lantas jika seorang pemula ingin mempelajari ilmu fotografi, mana yang harus ia pelajari terlebih dahulu? Meskipun konsep lebih penting, dalam tahap pemula sebaiknya teknik dipelajari lebih dulu. Dengan begini, konsep yang dimiliki dapat tersalurkan dalam sebuah karya fotografi. Jika seorang pemula mempelajari konsep terlebih dahulu maka dikhawatirkan akan tersesat tataran pengkonsepan saja. Dan tidak dapat berkarya karena tidak melakukan eksekusi akibat kurangnya pengetahuan tentang teknik fotografi.
Belajar haruslah bertahap. Tidak terkecuali belajar fotografi. Tahapan awal adalah mengenal teknik fotografi sehingga kita dapat memahami kemampuan dari kamera kita. Setelah itulah baru kita mempelajari cara mengkonsep yang baik karena dengan itu kita dapat menghasilkan karya fotografi yang baik sekaligus indah.

Selanjutnya...

Seberapa sering anda melihat laki-laki berpakaian warna pink, atau barangkali seorang dokter dengan pakaian serba hitam saat bertugas di rumah sakit. Konon bayi yang baru lahir juga tidak boleh tidur diruang yang temboknya dicat serba hitam. Sebaliknya seorang Dedy Cobuzier rela menyiksa diri dengan dandanan aneh dan pakaian serba hitam. Seorang wanita akan terlihat lebih seksi apabila memakai pakaian merah. Sementara itu seorang petualang rela tidak ganti pakaian berhari-hari agar bisa tetap memakai rompi coklatnya.
Dari beberapa contoh di atas maka tentunya dapat disimpulkan kalau warna bukan hanya berkaitan dengan estetika saja, tetapi melaui warna manusia juga mencoba untuk mengkomunikasikan sesuatu. Setiap warna dapat menimbulkan suatu persepsi tertentu. Bahkan apabila dikombinasikan dengan atribut lain warna bukan hanya menimbulkan persepsi dan citra tertentu, warna akan akan semakin menguatkan suatu “symbol” tertentu seperti keagungan, kematian, kehidupan dan lain-lain.
Warna merupakan suatu bahasa yang disembunyikan. Pertama, Warna bisa mewakili usia tertentu, misal saja warna-warna remaja yang cenderung bernuansa cerah dan memiliki saturasi tinggi, sebaliknya warna yang mewakili usia dewasa cenderung lebih gelap dan memiliki saturasi rendah. Kedua, warna bisa mewakili suasana hati misalnya orang yang berduka seringkali memakai pakaian dan kerudung hitam, sedangkan orang yang sedang bersukacita cenderung memakai pakaian bercorak putih atau warna-warna cerah seperti pink, kuning, oranye. Ketiga, Warna bisa menunjukkan kepribadian, warna selalu dikaitkan dengan kepribadian. Dalam film kita selau melihat jagoan-jagoan memakai kostum merah, seperti Spiderman dan Superman, walau sebenarnnya warna kostumnya sengaja disamakan dgn bendera Amerika untuk menumbuhkan rasa patriotik dan nasionalisme pada perang dunia 2, warna merah mempunyai sifat berani dan semangat yang tinggi. Contoh lain yang dapat kita lihat adalah seorang yang suka memakai warna kuning cenderung memiliki sifat percaya diri. Keempat, Warna untuk menunjukkan status sosial tertentu. Orang orang di kalangan ekonomi menengah atas memakai pakaian yang memiliki corak warna keemasan. Atau warna-warna yang memiliki sifat berkilau seperti warna silver dan putih. Sebaliknya orang-orang kalangan bawah cenderung memakai pakaian dengan warna-warna kusam yang gelap dan kecoklatan. Kelima, Warna bisa menunjukkan orientasi seksual dan jenis kelamin. Seorang metroseksual menandai diri dengan memakai pakaian dengan warna-warna saturasi tinggi dan memakai banyak atribut warna dalam pakaiannya. Selain itu warna maskulin adalah biru tua dan warna feminim adalah pink. Keenam, Warna sebagai penunjuk waktu. Survai membuktikan kalau apabila diruang kerja didominasi warna-warna panas (kuning, oranye, merah) maka waktu rasanya semakin sepat berlalu, akibatnya kita seringkali terburu-buru. Sebaliknya jika ruang kerja yang didominasi warna dingin (hijau, biru, ungu) waktu terasa lebih santai dan enjoy. Warna klasik seperti coklat dapat memberi suasana masa lampau, sedang warna silver bisa memberi suasana futuristik.
Hanya saja sejak kecil kita sudah dipaksa bahkan “diperkosa” untuk mendefinisikan warna secara gegabah tanpa memperhitungkan proses semiosis antara penanda menjadi petanda atau sebaliknya. Misalnya saja warna bendera Indonesia, Merah berarti berani dan putih berarti suci. Padahal merah bisa juga berarti gairah dan seksualitas, sedangkan putih bisa juga berarti kebahagiaan dan kejujuran. Satu contoh tersebut kita dihadapkan dalam sifat ambigu dari warna, karena satu warna bisa mempunyai banyak sekali arti.
Ada beberapa hal yang membuat warna sulit didefinisikan karena sifat warna yang komplek. Pertama, eksistensi warna. Jumlah warna sebenarnya tidak terbatas karena setiap warna bisa dicampur dan memiliki saturasi dan value yang berbeda. Oeh karena itu perlu kita batasi yang dimaksud warna disini adalah warna “awam”, artinya yang dimaksud dengan merah adalah merah yang kebanyakan orang sepakati. Merah memiliki rona warna lain tetap kita “anggap” sebagai merah. Kedua, sifat ambigu dari warna. Ambigu disini adalah sifat multi tafsir dari warna. Misalnya warna hitam bisa berarti kematian, kejahatan, kedukaan dll. Bahkan sifat multi tafsir dari warna bisa sangat berlawanan misalnya saja hitam bisa juga berarti elegan apabila diaplikasikan pada mobil sedan. Ketiga, sifat warna yang arbitrer. artinya warna semata-mata bersifat konfensi dan sewenang-wenang tanpa ada penjelasan ilmiah dan subtansial. Misalnya dari dulu kita mengenal arti merah dari bendera RI adalah berani. Tanpa tahu bagaimana proses pendefinisian dari merah menjadi berani. Hal tersebut karena semata-mata semua orang mengatakan warna merah berarti berani. Kempat, definisi warna yang spekulatif. Karena definisi warna seringkali tidak memiliki pertanggung jawaban ilmiah, maka seringkali kita mendefinisikan secara spekulatif sesuai dengan feeling yang kita rasakan ketika melihat warna tersebut. Misalnya ketika kita sedang berduka atau patah hati, setiap warna yang kita lihat bisa memiliki arti kematian atau putus asa. Di sini kita dihadapkan pada persepsi orang bisa berbeda terhadap warna Karena adanya pengalaman tertentu. Kelima, sifat dinamis warna yang sesuai dengan kultur, waktu dan tempat. Warna merah di cina bisa memiliki arti yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Seperti halnya warna putih pada jaman renaisans bisa berbeda arti pada jaman sekarang. Hal tersebut dikarenakan konfensi tentang warna ditempat dan waktu yang berbeda bisa berlainan.
Ambiguitas dalam warna bukan berarti membuat warna menjadi tidak “terdefinisikan”. Sifat-sifat chaos pada warna tentunya bukan tanpa sebab. Karena ada banyak simbol yang tidak bisa diwakili oleh warna tertentu. Misalnya saja oranye berarti segar atau fresh. Warna oranye tersebut tidak bisa digantikan dengan warna hitam ataupun warna merah. Seorang laki-laki macho berotot dan berkumis tetap akan terlihat seperti bencong apabila memakai pakaian pink, disini kita dapat menyimpulkan bahwa maskulinitas tidak mungkin dapat kita definisikan pada warna pink. Sebabnya adalah:
1. Warna telah diasosiasikan pada suatu benda tertentu.
Asosiasi disini adalah warna diidentikan pada benda tertentu. Misalnya warna kuning pada matahari. Oleh karena itu warna kuning bisa diartikan kehangatan, kepercayaan diri, keindahan, keangkuhan dll. Warna hitam tidak bisa mewakili definisi segar karena segar diasosiasikan pada laut yang warnanya biru muda, atau pada jeruk yang warnanya oranye.
2. Sifat arbriter yang terlalu kuat.
Sifat arbriter yang terlalu kuat dan sejak lama melekat dalam masyarakat dapat membuat definisi warna menjadi “seakan-akan” ilmiah. Karena dulu warna merah berarti/diartikan berani dan putih berarti suci, maka demikianlah jadinya. Karena masyarakat tidak bisa menemukan kajian untuk mendukung maupun menolak definisi tersebut.
3. Warna hanya penguat citra jargon/atribut.
Mendefinisikan warna tidak bisa dilakukan dengan cara melihat warna yang berdiri sendiri. co. kotak polos berwarna hitam tidak akan bisa diartikan apapun, sedang warna hitam yang dipakai oleh orang yang sedang menangis di sebelah kuburan sangat bisa menguatkan arti dari dukacita. Warna hitam pada HP dan mobil bisa menguatkan kesan elegan dan mewah. Hal tersebut dikarenakan warna “hanya” sebagai penguat saja. Sedang element yang dominan adalah jargon dan atribut yang menyertainya, dalam kasus diatas adalah orang menangis, HP dan Mobil. Untuk mendefinisikan warna sebagai penguat citra dan persepsi tentunya berawal dari mendefinisikan atribut/jargon dahulu. Dalam aplikasi dan proses semiosisnya definisi warna tetap mengacu pada 2 point diatas yaitu asosiasi dan arbriter.
Dalam “Mithologies” karya Roland Barthes kita diperkenalkan pada mitos-mitos benda. Misalnya kacamata sebagai sesuatu yang menandakan kejeniusan, ketekunan dan formalitas. atau celana sobek sebagai petanda anti kemapanan dan anti formalitas. Mitos dalam “Mythologies” tersebut tidak berpretensi untuk menentukan yang baik dan yang buruk. Namun semata-mata sebagai bahasa yang disembunyikan (hidden linguist). Demikian juga dengan warna, karena mitos warna tidak bisa dibahas secara eksakta. Seorang pria berpakaian pink belum pasti dia merupakan seorang pria yang mempunyai orientasi seksual sesama jenis. Namun paling tidak pencitraannya bisa demikian. Mengacu pada pengertian semiotikanya Umberto Eco yaitu semiotika merupakan ilmu untuk mendustai. Warnapun seringkali dipakai untuk mendustai misalnya : Joni memakai pakaian serba hitam, rambut gondrong, celana ketat dangan tato sekujur tubuh untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya seorang preman. padahal preman atau tidak sebetulnya bisa dilihat dari perbuatannya bukan penampilannya. Namun karena citra visualnya begitu kuat seringkali dia berurusan dengan polisi setiap kali ada kasus pemalakan.

* Sedemikian hebatkah warna mempengaruhi persepsi kita ?
* Mampukah warna mendustai kita, karena warna mampu mengaburkan citra dari segala sesuatu yang kita lihat ?
* Warna…warna…warna…..apa sih menariknya ?

Selanjutnya...

Tripod adalah alat yang penting bagi fotografer profesional maupun amatir, tapi karena perkembangan fotografi digital yang cepat, tripod menjadi kurang terkenal.
Fungsi tripod yang terutama adalah untuk menyangga kamera sehingga foto/video tidak kabur. Fungsi ini banyak digantikan oleh fungsi image stabilization (IS) kamera atau lensa dan juga perkembangan kamera digital yang mampu memproduksi foto yang relatif bersih meski dalam setting ISO tinggi atau di tempat yang kurang cahaya. Meskipun demikian, teknologi digital diatas belum sempurna.
Untuk memaksimalkan karya foto, tripod merupakan alat bantu yang wajib dipunyai. Keseriusan seorang fotografer seringkali bisa dilihat dari tripod yang digunakan.

Tips untuk memilih tripod

  • Tripod bisa digunakan dalam jangka waktu lama dan jarang atau tidak bisa kadalursa seperti barang elektronik, oleh sebab itu jangan terlalu pelit dalam membeli tripod. Tripod yang murah sebagian besar berkualitas rendah sehingga cepat rusak, tidak tahan air dan tidak stabil.
  • Mencari ukuran tripod seharusnya disesuaikan dengan peralatan fotografi Anda. Bila Anda mengunakan kamera saku, hendaknya mencari ukuran tripod yang lebih kecil, sedangkan bila mengunakan kamera DSLR profesional dengan lensa super panjang, sebaiknya mengunakan tripod yang besar dan kokoh.
  • Tripod yang berbahan baik, biasanya kokoh tapi ringan, sehingga tidak memberatkan bila dibawa atau dipindahkan. Bahan-bahan yang kokoh tapi ringan antara lain magnesium alloy dan carbon fiber.
  • Tripod yang baik memiliki ball head (kepala tripod) dan kaki yang terpisah, sehingga Anda bisa menukar ball head sesuai dengan kebutuhan.
  • Tripod yang baik memiliki quick release plate, sehingga Anda bisa melepaskan kamera dari tripod dengan mudah dan cepat.
  • Tripod yang baik memiliki bubble head, sehingga Anda bisa mengetahui apakah tripod Anda telah sejajar dengan garis horizon atau belum.
Banyak merek tripod yang beredar di pasaran, tapi ada dua perusahaan yang menurut saya memproduksi tripod yang sangat baik kualitasnya. Mereka adalah Manfrotto dan Induro. Selamat berbelanja!

Selanjutnya...

Pernah tidak Anda kecewa ketika mendapati hasil cetak foto Anda ternyata lain daripada yang di layar monitor? Atau pernah tidak ketika melihat foto di layar komputer lain ternyata tidak sama? Misalnya terlalu kontras, atau terlalu kekuningan.
Hal ini disebabkan karena monitor Anda belum dikalibrasi. Untuk mengkalibrasikan monitor sebenarnya susah susah gampang. Susah karena kalau manual diperlukan kejelian dan kesabaran untuk menjalani langkah-langkah dalam mengkalibrasikan monitor. Gampang karena tidak perlu ketrampilan tambahan.
Apa itu kalibrasi? kalibrasi pada dasarnya adalah menyesuaikan foto dilayar monitor dengan foto yang sudah dicetak.

Berikut langkah-langkah kalibrasi manual monitor:

  1. Cek ukuran resolusi layar (image resolution) pastikan settingnya berada dipaling tinggi atau pilih yang paling optimal.
  2. Pastikan layar berada di setting warna 24 bit atau high-color
  3. Pastikan tidak ada cahaya yang kuat langsung menyorot monitor Anda sehingga timbul pantulan
  4. Cetak foto favorit Anda dengan kertas foto profesional
  5. Atur setting brightness, contrast dan warna (Merah, Hijau, Biru) monitor sehingga menyerupai foto
  6. Gunakan program seperti Adobe Gamma (biasa ditemukan di control panel) atau Quickgamma (gratis)
  7. Bila Anda mengunakan Windows 7, Anda bisa mengunakan fasilitas kalibrasi yang bisa ditemukan di control panel/Apperance/Display
Kalibrasi monitor juga bisa dilakukan dengan mengunakan alat kalibrasi otomatis yang bisa dibeli di pasaran contohnya adalah Spyder 3. Di komputer yang canggih juga mungkin ada alat kalibrasi otomatis.

Selanjutnya...

Banyak fotografer lebih suka membeli kamera atau lensa dalam keadaan baru. Ini adalah suatu hal yang wajar, karena kita akan mendapatkan model terbaru, kondisi peralatan yang prima, dan umumnya mendapatkan masa garansi. Bila budget yang tersedia mencukupi, maka membeli kamera atau lensa dalam keadaan baru mungkin adalah pilihan terbaik.

Tips membeli kamera atau lensa baru:
  1. Tentukan fasilitas kamera yang diperlukan, tipe dan merek yang diinginkan sesuai dalam rentang budget yang tersedia. Untuk mendapatkan gambaran rentang harga, hubungi beberapa toko kamera melalui telepon.
  2. Kunjungi toko kamera dan coba beberapa tipe kamera pilihan anda, untuk merasakan kamera yang akan anda beli. Pemilihan tipe dan merek adalah sangat bersifat personal/pribadi sehingga anda sebaiknya mencoba sendiri semua segi pemilihan yang penting untuk anda (spesifikasi, ergonomi, kontrol, kemudahan pemakaian).
  3. Dapatkan lensa terbaik sesuai budget anda. Lensa adalah bagian kamera yang akan
    membentuk dan menentukan kualitas hasil foto, sehingga (menurut pendapat saya) lebih penting dari body kamera yang digunakan. Untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas lensa, lihat di PhotoZone atau Photodo web site.

Tetapi membeli dalam keadaan bekas pakai/secondhand patut pula dipertimbangkan. Selain
harga yang lebih murah, ada beberapa alasan untuk membeli kamera atau lensa dalam keadaan bekas, diantaranya: anda menginginkan kamera atau lensa dengan spesifikasi tertentu tetapi terlalu mahal untuk membeli dalam keadaan baru; atau anda menginginkan backup kamera (untuk digunakan dengan lensa atau film jenis lainnya).
Berikut ini adalah panduan untuk membeli kamera atau lensa dalam keadaan bekas (khususnya kamera auto fokus):

Tips membeli kamera bekas:
  1. Periksa keadaan umum kamera, yang akan memberikan gambaran bagaimana pemilik sebelumnya merawat dan menggunakan kamera tersebut. Hindari kamera dengan cacat luar ataupun cacat dalam yang nyata.
  2. Nyalakan kontrol kamera, dan cek apakah seluruh fungsi dan tombol kontrol atau dial kamera berjalan dengan semestinya.
  3. Coba fungsi autofokus dengan sebuah lensa untuk tes, apakah berjalan dengan baik dan akurat.
  4. Lihat dari viewfinder kamera dan pastikan gambar dan viewfinder display (bila ada)
    terlihat jelas. Sedikit partikel debu atau kotoran umum didapati pada kamera bekas, tetapi adanya cacat/benda asing di viewfinder harus dihindari.
  5. Cek kondisi dan fungsi LCD panel. Cobalah mengganti mode eksposure untuk memastikan setiap mode terdisplay dengan baik.
  6. Cek shutter pada berbagai speed/kecepatan, dari yang tercepat sampai terlambat. Anda seharusnya akan dapat mendengar adanya perbedaan waktu sesuai dengan pengesetan speed shutter pada proses pemotretan.
  7. Lepaskan lensa dan lihat bagian dalam kamera dari arah depan. Cek kondisi kaca/mirror apakah tidak terdapat goresan atau retakan dan apakah kaca membuka/menutup kembali dengan semestinya dalam setiap proses pemotretan. Juga periksa kondisi focusing screen (di bagian atas kaca) apakah dalam kondisi baik dan bebas goresan.
  8. Lihat keadaan mount lensa pada body. Pastikan tidak terdapat distorsi atau kerusakan mount karena benturan, dan seluruh pin atau gear/lever pada mount dalam keadaan baik.
  9. Buka bagian belakang kamera, dan lihat keadaan shutter. Seluruh blade shutter harus dalam keadaan rata dan tanpa goresan. Set kamera pada speed lambat, dan tekan tombol shutter untuk melihat dan memastikan shutter dapat terbuka dalam keadaan penuh. Cek juga kondisi rail film dan pressure-plate, yang harus dalam keadaan bebas dari goresan.
  10. Mintalah bantuan petugas/penjual untuk memasang tes film di dalam body. Cek apakah kamera me-load, wind, dan rewind film dengan semestinya.
  11. Bukalah kompartemen baterai, untuk meyakinkan tidak terdapat kerusakan kontak pin yang disebabkan oleh baterai bocor.
  12. Bila mungkin, mintalah masa garansi (1 atau 3 bulan) dari penjual.
Tips membeli lensa bekas:
  1. Periksa keadaan umum lensa, dan hindari lensa dengan cacat yang nyata.
  2. Goyangkan lensa. Tidak terlalu keras, tetapi cukup kuat untuk mendengar dan mendeteksi bila ada elemen gelas di dalam lensa yang tidak terpasang dengan baik atau bahkan terlepas.
  3. Periksa bagian depan dan belakang lensa dengan seksama. Hindari lensa dengan elemen depan/belakang yang tergores, retak, atau pecah kecil/gumpil.
  4. Lihat bagian dalam lensa ke sumber cahaya (misalnya lampu). Sedikit debu merupakan hal yang umum, sedikit jamur (kemungkinan besar) dapat dibersihkan atau diservis. Sebaiknya hindari lensa dengan jamur yang banyak dan tebal, atau mempunyai partikel asing di dalamnya.
  5. Pasang lensa pada kamera (sebaiknya milik anda) dan yakinkan seluruh fungsi kamera dan lensa berjalan dengan semestinya.
  6. Periksa apakah aperture dalam lensa menutup sesuai pengesetan dalam pemotretan. Buka bagian belakang kamera, set dalam mode Bulb, dan tekan tombol shutter. Lakukan tes ini pada seluruh rentang aperture lensa.
  7. Periksa fungsi autofokus pada lensa, apakah berjalan dengan semestinya dan akurat.
  8. Periksa manual fokus ring pada lensa. Yakinkan manual fokus ring berfungsi dengan baik, tanpa suara atau sendatan pada mode manual fokus.
  9. Bila lensa tipe zoom, periksa apakah mekanisme zoom lensa berjalan dengan halus dan lancar. Hindari lensa dengan mekanisme zoom yang tersendat-sendat, terlalu keras, atau terlalu kendor.
  10. Periksalah filter thread pada bagian depan lensa, dan yakinkan tidak terdapat kerusakan atau kemacetan. Bila ragu-ragu, lakukan tes dengan memasang sebuah filter pada lensa tersebut.
  11. Bila mungkin, mintalah masa garansi dari penjual.
Semoga Bermanfaat...

Selanjutnya...

Begitu populernya lensa vario (zoom lens) di kalangan pemotret, sehingga rasanya tak ada yang tak memilikinya. Selain karena sering digunakan, lensa vario terasa praktis dibawa, fisiknya cukup ringkas, dan mutu gambar yang dihasilkannya pun baik. Bahkan kini banyak kamera digital yang sudah dilengkapi lensa vario bawaan (tidak bisa dilepas-tukar). Padahal, dulu, hasil pemotretan dengan lensa vario sempat diragukan kualitasnya.
Saat ini mutu lensa vario bisa dikatakan tidak kalah dengan kualitas lensa tetap (fixed lens). Namun, secara teknis, ada kekurangan yang dimiliki lensa vario yaitu, kuat (bukaan) lensanya masih kecil. Sejauh ini, bukaan terbesar sebuah lensa vario adalah f/2,8 dan tidak sedikit umumnya f/3,5 sampai f/5,6. Kendati kini pada kamera digital ada juga yang memiliki bukaan lensa varionya dari f/2,0 seperti pada Canon Powershot G5 dengan lensa vario 7,2 28,8mm (f/2,0 3,0) atau yang terbaru dari Leica, Digilux 2 dengan f/2,0 f/2,4 (7 22,5 mm).
Bandingkan dengan kuat sebuah lensa tetap. Lensa 50mm misalnya, rata-rata mempunyai bukaan terbesar f/1,4. Bahkan dulu Canon sempat membuat lensa 50mm f/0,95 untuk kamera Canon 7S. Belakangnan Carl Zeiss, produsen lensa terkenal di Jerman, membuat lensa Planar 50mm berkekuatan f/0,7 untuk kamera Contax/Yashica (Fotomedia No 5/I, 1990). Ini merupakan lensa terkuat dalam bidang fotografi (film), sampai saat ini.
Bagi yang belum tahu, kuat lensa (lens speed) jelas tertulis pada setiap lensa dengan kode 1:xx. Contoh, jika pada lensa 50mm tertulis 1:1.4, artinya panjang fokal lensa (F=) 50mm dan kuat lensa sekaligus juga bukaan terbesarnya f/1,4. Lensa vario 70-210mm 1:4-5,6 berarti kuat lensa pada F=70mm adalah f/4, sedangkan di posisi 210mm kuat lensa ‘bergeser’ menjadi f/5,6.
Manfaat
Lensa berkekuatan besar biasanya sering digunakan para profesional dan fotojurnalis. Terutama bagi fotografer olahraga dan satwa, lensa tele dengan bukaan besar merupakan suatu keharusan. Bayangkan bila dikombinasikan dengan kamera SLR digital yang memiliki kemampuan menambah panjang fokal lensa sekitar 50 persen, terasa benar manfaatnya.

Manfaat lain yang bisa diperoleh misalnya, ketika kita memotret suatu objek/subjek tampil dengan pencahayaan alami (natural) dalam kondisi cahaya lemah. Selain menghindarkan hasil pemotretan yang tidak diinginkan (tidak jelas, kabur, goyang), gerak pemotret menjadi lebih bebas karena tidak menggunakan penyangga kamera dan lampu kilat. Apalagi kalau dipadukan dengan film ber-ISO tinggi (yang mudah dilakukan pada kamera digital).
Ada manfaat signifikan yang mungkin tidak dirasakan ketika menggunakan lensa berbukaan besar yaitu, saat memfokus sasaran pemotretan menjadi lebih mudah dan cepat (dengan fokus manual). Ini sangat terasa saat menggunakannya dalam suasana minim cahaya. Cobalah sekali waktu Anda memfokus suatu objek dengan panjang fokal lensa yang sama, tetapi berbeda kuatnya, misalnya dengan lensa 35mm f/1,4 lalu diganti 35mm f/2,8.
Memang, umumnya, hasil pemotretan dengan lensa berkekuatan besar lebih baik dari lensa berkekuatan kecil, misalnya beberapa lensa dengan daya rentang 80-200mm dan bukaan f/2,8 dibandingkan dengan yang kekuatannya f/4 atau lebih kecil. Tapi ini tidak selalu. Ambil contoh, lensa Nikkor AF 50mm f/1,8 ternyata ‘menurut beberapa majalah foto mancanegara dan situs fotografi’ hasilnya lebih baik dibandingkan lensa setipe tapi dengan kekuatan f/1,4. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah, jangan berharap banyak bila foto yang dibuat secara teknis sangat baik tetapi tidak istimewa ide dan presentasinya.
Harus diingat pula, harga lensa-lensa berkekuatan besar relatif mahal dan semakin terus meningkat. Dan ini biasanya menjadi pertimbangan (sangat) besar bagi yang ingin memilikinya. Namun kalau kocek Anda memungkinkan, kenapa tidak mendapatkannya, bukan?
Mengherankan
Sesungguhnya, apapun tipe lensa yang digunakan bisa menghasilkan foto yang baik, sepanjang penggunaannya tepat guna dan yang lebih menentukan adalah pemotret itu sendiri. Ingat ungkapan populer the man behind the camera? Mengenal dan mengoptimalkan kemampuan peralatan fotografi yang kita miliki jauh lebih penting ketimbang selalu memburu peralatan yang lebih canggih dan relatif mahal.
Meski mutu lensa mempengaruhi kualitas foto yang dihasilkan, namun harus diingat, untuk lensa yang diproduksi dekade ini, perbedaan hasil pemotretan antara lensa yang ‘canggih’ dan tidak hanya terlihat secara signifikan jika diuji dengan teliti di laboratorium. Secara kasat mata jelas sukar membedakannya, selama kondisi lensa terlihat jernih (tidak berjamur, tergores, dan sejenisnya). Malah pada kamera digital, keefektifan sensor berupa CCD atau CMOS yang menangkap elemen-elemen gambar (pixel) yang lebih berperan. Semakin tinggi resolusinya, biasanya semakin baik citra foto yang dibentuk.
Hal lain yang sering terjadi dan cukup mengherankan ialah, ada kebiasaan di antara kita untuk tidak atau hampir tidak pernah menggunakan bukaan diafragma penuh (fully open) sewaktu memotret, kendati dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan. Seolah-olah timbul kekhawatiran ada kesan ‘takut gagal’ ketika memotret dengan bukaan terbesar lensa yang digunakan.
Jadi, bila Anda mempunyai lensa berkekuatan besar, jangan ragu menggunakan bukaan terbesarnya pada saat memotret kalau kondisi memang menghendaki demikian. Terutama jika Anda menggunakan lensa tele atau tele zoom, seringkali untuk mengkompensasi berat lensa harus diimbangi dengan kecepatan (cukup) tinggi, yang biasanya diperoleh dengan menempatkan diafragma pada angka terkecil (bukaan terbesarnya). Sebagai contoh, kalau Anda menggunakan lensa vario 80-200m f/2,8 maka atur diafragma pada f/2,8.
Harus disadari, untuk apa Anda membeli lensa Canon 24mm f/1,4 atau Nikkor 300mm f/2,8 misalnya, kalau Anda tidak pernah menggunakan bukaan terbesarnya? Kenapa tidak membeli lensa 24mm f/2,8 atau 300m f/4 yang harganya mungkin tidak sampai sepertiganya? Padahal salah satu faktor yang menentukan tinggi-rendahnya harga sebuah lensa adalah dari bukaan terbesarnya atau kekuatan lensa itu.
Manfaat lain yang bisa diperoleh misalnya, ketika kita memotret suatu objek/subjek tampil dengan pencahayaan alami (natural) dalam kondisi cahaya lemah. Selain menghindarkan hasil pemotretan yang tidak diinginkan (tidak jelas, kabur, goyang), gerak pemotret menjadi lebih bebas karena tidak menggunakan penyangga kamera dan lampu kilat. Apalagi kalau dipadukan dengan film ber-ISO tinggi (yang mudah dilakukan pada kamera digital).
Ada manfaat signifikan yang mungkin tidak dirasakan ketika menggunakan lensa berbukaan besar yaitu, saat memfokus sasaran pemotretan menjadi lebih mudah dan cepat (dengan fokus manual). Ini sangat terasa saat menggunakannya dalam suasana minim cahaya. Cobalah sekali waktu Anda memfokus suatu objek dengan panjang fokal lensa yang sama, tetapi berbeda kuatnya, misalnya dengan lensa 35mm f/1,4 lalu diganti 35mm f/2,8.
Memang, umumnya, hasil pemotretan dengan lensa berkekuatan besar lebih baik dari lensa berkekuatan kecil, misalnya beberapa lensa dengan daya rentang 80-200mm dan bukaan f/2,8 dibandingkan dengan yang kekuatannya f/4 atau lebih kecil. Tapi ini tidak selalu. Ambil contoh, lensa Nikkor AF 50mm f/1,8 ternyata menurut beberapa majalah foto mancanegara dan situs fotografi hasilnya lebih baik dibandingkan lensa setipe tapi dengan kekuatan f/1,4. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah, jangan berharap banyak bila foto yang dibuat secara teknis sangat baik tetapi tidak istimewa ide dan presentasinya.
Harus diingat pula, harga lensa-lensa berkekuatan besar relatif mahal dan semakin terus meningkat. Dan ini biasanya menjadi pertimbangan (sangat) besar bagi yang ingin memilikinya. Namun kalau kocek Anda memungkinkan, kenapa tidak mendapatkannya, bukan?
Mengherankan
Sesungguhnya, apapun tipe lensa yang digunakan bisa menghasilkan foto yang baik, sepanjang penggunaannya tepat guna dan yang lebih menentukan adalah pemotret itu sendiri. Ingat ungkapan populer the man behind the camera? Mengenal dan mengoptimalkan kemampuan peralatan fotografi yang kita miliki jauh lebih penting ketimbang selalu memburu peralatan yang lebih canggih dan relatif mahal.
Meski mutu lensa mempengaruhi kualitas foto yang dihasilkan, namun harus diingat, untuk lensa yang diproduksi dekade ini, perbedaan hasil pemotretan antara lensa yang ‘canggih’ dan tidak hanya terlihat secara signifikan jika diuji dengan teliti di laboratorium. Secara kasat mata jelas sukar membedakannya, selama kondisi lensa terlihat jernih (tidak berjamur, tergores, dan sejenisnya). Malah pada kamera digital, keefektifan sensor berupa CCD atau CMOS yang menangkap elemen-elemen gambar (pixel) yang lebih berperan. Semakin tinggi resolusinya, biasanya semakin baik citra foto yang dibentuk.
Hal lain yang sering terjadi dan cukup mengherankan ialah, ada kebiasaan di antara kita untuk tidak atau hampir tidak pernah menggunakan bukaan diafragma penuh (fully open) sewaktu memotret, kendati dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan. Seolah-olah timbul kekhawatiran ada kesan ‘takut gagal’ ketika memotret dengan bukaan terbesar lensa yang digunakan.
Jadi, bila Anda mempunyai lensa berkekuatan besar, jangan ragu menggunakan bukaan terbesarnya pada saat memotret kalau kondisi memang menghendaki demikian. Terutama jika Anda menggunakan lensa tele atau tele zoom, seringkali untuk mengkompensasi berat lensa harus diimbangi dengan kecepatan (cukup) tinggi, yang biasanya diperoleh dengan menempatkan diafragma pada angka terkecil (bukaan terbesarnya). Sebagai contoh, kalau Anda menggunakan lensa vario 80-200m f/2,8 maka atur diafragma pada f/2,8.
Harus disadari, untuk apa Anda membeli lensa Canon 24mm f/1,4 atau Nikkor 300mm f/2,8 misalnya, kalau Anda tidak pernah menggunakan bukaan terbesarnya? Kenapa tidak membeli lensa 24mm f/2,8 atau 300m f/4 yang harganya mungkin tidak sampai sepertiganya? Padahal salah satu faktor yang menentukan tinggi-rendahnya harga sebuah lensa adalah dari bukaan terbesarnya atau kekuatan lensa itu.

Selanjutnya...

DALAM dunia digital yang sudah kita jalani beberapa tahun ini, hal yang paling penting untuk terus dipikirkan adalah masalah penyimpanan data. Dan masalah ini selalu menyangkut ukuran, portabilitas, serta yang paling penting kompatibilitas.
PADA saat komputer pribadi mulai memasyarakat pada awal tahun 80-an, media penyimpan data yang besar adalah hardisk. Pada pertengahan tahun 80-an itu, hardisk 5 megabytes, sekali lagi hanya lima megabytes, ukurannya sebesar dua buah batu bata.

Kini, hardisk komputer pribadi sudah sebesar sepertiga sabun mandi dengan kapasitas sampai lebih dari 100 gigabytes. Sebagai gambaran, satu megabytes data itu kira-kira 400 halaman ketikan kwarto dengan program Word dalam mode penyimpanan rich text format (RTF). Sedangkan satu gigabytes adalah seribu mega. Jadi hardisk seratus gigabytes sebesar sepertiga sabun mandi itu mampu menyimpan tulisan 400 x 100 x 1000 halaman alias 40 juta halaman.
Namun dunia digital tidak hanya komputer pribadi yang bisa berupa desktop, laptop sampai dengan Personal Digital Assistant (PDA). Dunia digital juga sudah memasukkan kamera dan telepon dalam deret ini.
Maka, media penyimpanan data untuk kamera digital dan juga telepon genggam pun berkembang dengan pesat. Orang membutuhkan media penyimpanan yang berkemampuan besar namun berukuran kecil.
PADA pertengahan 90-an, saat kamera digital mulai memasyarakat, kaum profesional masih tergantung pada hardisk PCMCIA untuk media penyimpanan foto. Kamera digital pada saat itu umumnya memang hanya untuk para profesional saja.
Dan semenjak kamera digital memasuki dunia umum, perkembangan pembuatan kartu memori langsung terpacu demikian pesat. Hal yang langsung mengemuka adalah masalah standar yang akhirnya menyangkut kompatibilitas. Kenyataannya, cukup banyak macam kartu memori yang berkembang dan beredar di pasaran. Di antara kartu-kartu memori itu, ada yang disukai orang sehingga terus berkembang dalam ukuran. Namun ada pula yang dihentikan produksinya karena kurang mendapatkan minat.
Kartu yang sudah dihentikan produksinya adalah Smart Media (SM). Kartu yang dikembangkan perusahaan Fuji ini karena tipis, maka ringkih. Kartu memori yang paling populer sampai saat ini adalah Compact Flash (CF). Kepopuleran kartu jenis ini karena daya tahannya yang luar biasa. Kompas pernah secara tidak sengaja meninggalkan CF di saku celana, dan celana ini lalu masuk mesin cuci. Tidak ada data yang hilang dari CF itu dalam sekali cuci.
 Ketahanan CF membuatnya terus berkembang sehingga saat ini ia sudah mencapai ukuran 16 gigabytes. Namun yang tersedia di pasaran baru dalam kapasitas 4 gigabytes. Kepopuleran CF membuat perusahaan Sony yang memproduksi Memory Stick (MS), akhirnya memberi peluang bagi pengguna kamera Sony untuk juga bisa memakai CF selain MS seperti pada kamera Sony DSC-828.
 
Kartu lain yang juga cukup populer adalah kartu SD. Sampai tahun 2002, kecenderungan yang muncul adalah, kartu CF umumnya untuk kamera pro sedangkan SD untuk kamera saku. Namun setelah perusahaan Fuji dan Olympus bekerja sama membuat XD Card yang kecil namun berkapasitas besar, perkembangan kartu memori makin sengit lagi.
Pada tahun 2004 kemarin, tiga macam kartu memori baru muncul ke pasaran dengan ukuran yang sangat menakjubkan. TransFlash (TF) yang hanya seukuran ujung jari, masuk pasaran dengan kapasitas 128 megabytes. Dalam waktu dekat, TF akan memasuki kapasitas 1 GB.
Selain TF, muncul pula Reduced Sized Multi Media Card (RS-MMC) serta kartu SD yang diperkecil dengan nama Mini SD. Sebagai pengguna, tentu saja kita berharap perlombaan ini masih terus berlangsung.

Selanjutnya...

“I don’t know any photojournalists who do the job for the sake of money. They do it to communicate”. (James nachtwey)

Pendahuluan
Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali, tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya sendiri Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.
Fotografi Jurnalistik
Definisi fotografi dapat diketahui dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada foto yang dihasilkan.
Ciri-ciri foto jurnalis:
1.Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri.
2.Melengkapi suatu berita/artikel.
3.Dimuat dalam suatu media.
Sebuah foto dapat berdiri sendiri, tapi jurnalistik tanpa foto rasanya kurang lengkap, mengapa foto begitu penting ?, karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam/mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa.
‘Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi’ (Kartono Ryadi, Editor foto harian Kompas). Perbedaan foto jurnalis adalah terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis berarti memilih foto mana yang cocok. ( ex: di dalam peristiwa pernikahan, dokumentasi berarti mengambil/memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan tamu sampai selesai, tapi seorang wartawan foto hanya mengambil yang menarik, apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, khan menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan (media massa) atau tidak.
Nilai suatu foto ditentukan oleh beberapa unsur:
1. Aktualitas.
2. Berhubungan dengan berita.
3. Kejadian luar biasa.
4. Promosi.
5. Kepentingan.
6. Human Interest.
7. Universal.
Foto jurnalistik terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Spot news : Foto-foto insidential/ tanpa perencanaan. (ex: foto bencana, kerusuhan, dll).
2.General news : Foto yang terencana (ex : foto SU MPR, foto olahraga).
3.Foto Feature : Foto untuk mendukung suatu artikel.
4.Esai Foto : Kumpulan beberapa foto yang dapat bercerita.
Foto yang sukses
Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari ‘being in the right place at the right time’ . Tetapi seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali.
Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.
Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi foto tersebut.
sumber : Wikipedia

Selanjutnya...

Mungkin tak banyak yang mengenal nama Kassian Cephas. Meski memiliki andil besar di dunia fotografi Indonesia, namun ketenaran namanya seolah hilang ditelan jaman. Pria yang dilahirkan pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah adalah orang Indonesia pertama yang memiliki kesempatan mengenal fotografi.
Perkenalan Cephas pada dunia fotografi tak lepas dari pengaruh kehidupannya di masa kanak-kanaknya yang dekat dengan budaya Belanda. Ia bahkan menjadi anak angkat orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk.
Tahun 1860-an, Cephas muda mulai merintis karir di dunia fotografi. Ia bahkan menekuni kesenangannya ini dan belajar menjadi fotografer profesional.
Sebagai fotografer pribumi pertama, nama Kassian Cephas mulai bersinar sejak ia memutuskan terjun di dunia profesional. Bahkan pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII, Cephas pernah dipercaya sebagai fotografer khusus keraton.
Tak heran jika karya besar Kassian Cephas merekam kahidupan Keraton Yogyakarta. Karena kedekatannya ini, ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di keraton pada waktu itu.
Karya-karya besar Kassian Cephas yang merekam kehidupan keraton dimuat dalam buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa dan buku karya sejarahwan Belanda Gerrit Knaap yang berjudul “Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan”.
Selain bekerja untuk Keraton Yogyakarta, Cephas juga terlibat dalam berbagai proyek pemotretan untuk penelitian. Beberapa diantaranya adalah penelitaian kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union di Yogyakarta pada tahun 1889-1890.
Cephas juga terlibat dalam pemotretan untuk proyek penelitian Candi Borobudur saat mulai ditemukan. ia membuat sekitar 300 foto untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini.
Tak tanggung-tanggung, Cephas memperoleh bayaran hingga 10 gulden per lembar fotonya. Ia mengantongi 3000 gulden atau sekitar sepertiga dari seluruh uang penelitian. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu.
Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV (Lembaga Linguistik dan Antropologi Kerajaan) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeologiche Vereeniging. Ia resmi diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal 15 Juni 1896.
Pada tahun 1912, saat usianya menginjak 67 tahun Cephas tutup usia.
Sumber : Wikipedia

Selanjutnya...

Metode EDFAT (Entire, Detail, Frame, Angle, Time) yang diperkenalkan oleh “Walter Cronkite School of Journalism and Telecommunication Arizona State University”, merupakan konsep pengembangan fotografi pribadi. EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detil yang tajam.
EDFAT merupakan Suatu pembiasaan melatih metode EDFAT dalam tindakan fotografi setiap calon foto jurnalis maupun fotografer amatir , setidaknya membantu proses percepatan pengambilan keputusan terhadap suatu event atau kondisi visual bercerita dan bernilai berita dengan cepat dan lugas.
Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metode itu adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita. Unsur pertama dalam metode tersebut adalah:
Entire (E)
Dikenal juga sebagai ‘established shot’, suatu keseluruhan pemotretan yang dilakukan begitu melihat suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain. Untuk mengincar atau mengintai bagian-bagian untuk dipilih sebagai obyek.
Detail (D)
Suatu pilihan atas bagian tertentu dari keseluruhan pandangan terdahulu (entire). Tahap ini adalah suatu pilihan pengambilan keputusan atas sesuatu yang dinilai paling tepat sebagai ‘point of interest’
Frame (F)
Suatu tahapan dimana kita mulai membingkai suatu detil yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang calon foto jurnalis mengenal arti suatu komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek pemotretan dengan akurat. Rasa artistik semakin penting dalam tahap ini.
Angle (A)
Tahap dimana sudut pandang menjadi dominan, ketinggian, kerendahan, level mata, kiri, kanan dan cara melihat. Fase ini penting mengkonsepsikan visual apa yang diinginkan.
Time (T)
Tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan atas ke empat tingkat yang telah disebutkan sebelumnya. Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih ketajaman ruang adalah satu prasyarat dasar yang sangat diperlukan.

Selanjutnya...

Trend wartawan warganegara (warteg) atau wartawan rakyat biasa khususnya citizen photojournalist kini sedang populer di dunia maya. Sehingga tak heran, juga bermunculan puluhan dan mungkin ratusan atau ribuan para jurnalis dunia maya. Biar keren saya sebut citizen photojurnalist.
Ini sebenarnya juga menjadi fenomena baru bagai kalangan dunia jurnalistik kita. Keberadaan para citizen photojournalist juga memberikan warna baru dalam dunia komunikasi, media massa melalui dunia internet. Bahkan kekuatan citizen photojournalist ini, memiliki kekuatan yang mungkin sama dengan keberadaan media online yang telah ada sebelumnya. Kepentingan para citizen photojournalist ini memang beragam, ada yang sekedang memajang acara mereka sendiri, tapi ada juga yang memberikan informasi yang cukup menarik bagi kalangan jurnalis resmi.
Nah, dari persoalan di atas, jelaslah bahwa citizen jurnalis dan media online sebenarnya tidak ada bedanya. Sama-sama dalam pemberitaannya termuat di media online. Yang membedakan mungkin hanyalah jumlah yang pemirsanya saja.
Untuk itu, melalui tulisan ini saya berharap kepada teman-teman yang memang akan memasuki dunia citizen journalist agar mau mempedulikan aturan main di dalam dunia jurnalistik, yang telah ada. Karena pada dasarnay adalah sama menjadi seorang foto jurnalis online maupun bekerja sebagai foto jurnalis untuk sebuah penerbitan (media cetak). Karena kedua media itu menjadi prasyarat utama keberadaan sebuah foto jurnalistik.
Tidak ada salahnya jika foto-foto yang dipublis itu juga memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada pemirsa. Selain memberikan pesan dan cerita tersendiri, setiap foto yang disiarkan juga mampu menyampaikan informasi selengkap-lengkapnya.
Istilah citizen photojournalist memang baru, namun istilah photojournalist dan fotojurnalistik sendiri, sebenarnya telah lama ada. Menurut pemahaman saya, citizen photojournalist sendiri sebenarnya juga merupakan perwujutan dari fotojurnalistik yang dikembangkan oleh para blogerjurnalis dalam dunia maya.
Seperti yang dilakukan oleh situs http://www.kompasimages.com yang kita cintai ini, juga sedang mengembangkan dan membangun situs komunitas, khusus photojournalist warganegara atau citizen photojournalist.
Tentu saja situs http://www.citizenimages.kompas.com ini merupakan situs yang memberikan wadah kepada komunitas photojournalist warga negara untuk berkreasi dalam membangun dan mencari bentuk aktualitas diri dalam lingkup fotojurnalistik. Dalam setiap penyajian foto-foto para citizen photojournalist, diharapkan memiliki kaidah-kaidah sesuai kode etik dan aturan main dari fotojurnalistik.
Apa itu fotojurnalistik? seperti yang telah dijelaskan di dalam tulisan di situs ini. Pada dasarnya, fotojurnalistik sebuah sajian informasi dalam bentuk visual yang disiarkan di media baik itu media cetak maupun online. Ada beberapa ciri-ciri fotojurnalistik di antaranya, memiliki berita atau menjadi berita itu sendiri, Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri, melengkapi suatu berita/artikel dan dimuat dalam suatu media baik cetak maupun online.
Selain itu fotojurnalistik memiliki karakteristik di antaranya, gabungan antara berita dan foto, disajikan dengan jujur, lingkup manusia dan memberikan informasi dari sebuah kejadian atau berita, akurasi, alat komunikasi visual dalam bentuk gambar. Dari penjelasan tersebut di atas, paling tidak dapat dijadikan referensi atau panduan para citizen photojournalist yang sedang menyiarkan foto-fotonya web atau blog mereka.
Yang tidak kalah penting dalam penyajian sebuah fotojurnalistik adalah memberian metadata foto terhadap setiap foto-foto yang disiarkan. Di dalam metadata terdapat teks foto (caption) yang selalu menyertai setiap foto-foto yang dipublis dan wajib untuk diisi.
Teks foto memiliki arti yang penting, karena memberikan penjelasan terhadap peristiwa yang ada di dalam foto. Teks foto terdiri dari keterangan yang menyangkut 5W+1H. Tujuan utama dari teks foto adalah memberikan penjelasan terhadap sebuah foto yang disiarkan, kepada penikmatnya. Sehingga dengan visual gambar yang ditampilkan beserta teks fotonya, akan menjawab semua pertanyaan dari penikmat foto. Selain menjelaskan cerita foto yang disiarkan, penyebutan tempat, hari dan tanggal kajadian, adalah menjadi sangat penting.
Penyebutan tempat, hari dan tanggal biasanya dibubuhkan pada akhir kalimat dalam keterangan foto. Penyebutan tempat, hari dan tanggal ini sebagai upaya untuk menjelaskan kepada penikmat foto tentang akurasi dan kebenaran peristiwa secara tepat terhadap sebuah peristiwa yang diabadikan dalam bentuk gambar (foto).
Di dalam fotojurnalistik juga diharamkan (tidak dibenarkan) memberikan tambahan gambar (montage) atau mengurangi gambar, merubah di dalam hasil rekaman foto yang dihasilkan. Editing foto yang diperbolehkan dalam penyajian fotojurnalistik hanyalah sebatas, gelap terang, menghilangkan dengan cara mengkroping sebagian gambar, karena menyangkut keindahan dan keseimbangan komposisi dalam foto itu.
Dengan penguasaan dan pengetahuan dasar fotojurnalistik ini, diharapkan para bloger dalam menyajikan foto-fotonya mengacu pada kaidah fotojurnalistik. Selain itu, para bloger photojournalist ini, juga mampu menyampaikan foto-foto terbaiknya yang tidak menyesatkan dan menjerumuskan penikmat fotografi. Mampu menyajikan foto yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, seperti halnya fotojurnalistik dari kalangan wartawan foto media.

Selanjutnya...

Banyak pendapat tentang pengertian fotojurnalistik, dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Namun dari berbagai pendapat itu, apabila kita tarik benang merahnya sebenarnya mengandung tujuan yang sama. Karena fototojurnalistik memiliki cakupan yang luas terhadap kehidupan berkomunikasi manusia dibumi ini.
Wilson Hick redaktur senior majalah ‘Life’ (1937-1950) dalam buku World and Pictures (new York, Harper and Brothers, Arno Press 1952, 1972), foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan.
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka di dunia Magnum yuang terkenal dengan teori ‘Decisive Moment’ — menjabarkan, “foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersembut mengungkap sebuah cerita.”
Menurut fotografer senior Antara Oscar Motuloh dalam sebuah pelatihan fotografi berpendapat fotojurnalistik adalah suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan beragam bukti visual atas berbagai peristiwa kepada masyarakat seluas-luasnnya secara cepat.
Sementara menurut tokoh fotojurnalistik asal Surabaya almarhum Zainuddin Nasution berpendapat, foto jurnalistik adalah jenis foto yang digolongkan foto yang bertujuan dalam pemotretannya karena keinginan bercerita kepada orang lain. Jadi foto-foto di jenis ini berkepentingan dalam menyampaikan pesan (massage) kepada orang lain dengan maksut agar orang lain melakukan sesuatu tindakan psikologis. Dan banyak pula, yang beranggapan bahwa yang dimaksut dengan fotojurnalistik itu, hanyalah foto-foto yang dihasilkan para wartawan foto saja. Padahal fotojurnalistik, sebenarnya mencakup suatu hal yang sangat luas. Foto-foto advetorial, kalender, postcard, brosur, dsb, bisa juga dikatakan sebagai jenis fotojurnalistik.
Dalam buku serial Photojournalistic yang diterbitkan oleh Time Life diungkapkan bahwa; Sementara foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto seperti yang kita lihat di media massa adalah pers foto (foto berita) yang penekanannya pada perekaman fakta otentik.
Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dsb. Foto-foto itu, ingin menceritakan sesuatu yang pada gilirannya akan membuat orang tersebut bertindak (feedback). Foto jurnalistik ini disiplinnya lebih banyak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pengaruh imaji tersebut bagi pemerhatinya.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa foto jurnalistik atau khususnya persfoto yang baik adalah foto yang memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa, tetapi dibuat dengan kemampuan teknologi secara otentik. Dari uraian di atas dapat disumpulkan bahwa, fotojurnalisik adalah suatu media sajian informasi berupa bukti visual (gambar) atas berbagai peristiwa yang disampaikan kepada masyarakat seluas-luasnya dengan tempo dan waktu yang cepat. Jadi intinya bahwa semua gambar yang disajikan dalam bentuk foto dan berita yang dimuat dalam dimedia baik cetak maupun online itu dinamakan fotojurnalistik.
Tentu saja setiap foto yang disiarkan harus dilengkapi dengan teks foto, yang melekat dan menjadi informasi pelengkap terhadap foto-foto itu sendiri. Jadi teks foto (keterangan foto) di dalam sebuah fotojurnalistik adalah mutlak –lihat pembahasan berikutnya tentang teks foto.
Bahkan semua foto, baik foto dokumentasi maupun foto apa saja, apabila telah dimuat dalam sebuah media, boleh dikatakan sebagai fotojurnalistik. Media penyampai fotojurnalistik biasanya melalui media massa, surat kabar (koran), majalah, tabloid maupun media online (internet), brosur, poster dsb.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa fotojurnalistik adalah foto-foto yang dimuat dalam media cetak saja. Bahkan ada yang beranggapan, bahwa fotojurnalistik merupakan sebuah aliran dalam fotografi. Karena memang kita sering mendengar istilah salon foto, foto art, foto arsitektur, foto model, foto masakan, foto fasyen dsb.
Sejumlah penggemar fotografi sendiri memposisikan bahwa fotojuralistik adalah sebuah aliran foto yang ada di dalam dunia fotografi. Padahal pemahaman seperti itu sebenarnya kurang tepat, karena foto-foto yang tersebut di atas sebenarnya telah masuk di dalam lingkup fotojurnalistik. Tentu saja, apabila dilengkapi dengan sebuah informasi berupa teks atau berita yang melengkapinya.
www.gudangenam.blogspot.com

Selanjutnya...